Merah ini bukan sekedar darah,
namun hati yang diliputi amarah.
Inilah dirimu yang ingin merdeka.
Merahmu membara,
mempesona sekaligus membutakan mereka.
Ada rasa terancam dari jiwa-jiwa yang tak terima.
Ah, apa salah si merah?
Hanya rasa percaya diri yang istimewa.
Mengapa pula mereka harus usil dan tak suka?
Merah juga warna cinta,
hati yang penuh hasrat terbuka.
Seharusnya ada yang bahagia,
bukannya berduka dan terluka.
Haruskah kau mengganti merah dengan putih,
yang kata mereka lebih suci
meski diam-diam merintih?
Merah tak selalu noda
atau pun hasrat tercela.
Untuk apa mereka menghina,
bila mereka juga memilikinya?
Merahmu adalah kejujuran sejati,
meski kalah dengan putih sang lambang suci.
Namun, putih tak pernah abadi.
Setialah dengan merahmu.
Kau bukan penggoda, hanya tangguh dalam hidup berliku.
Luka pasti ada, setajam sembilu.
R.
(Jakarta, 15 Agustus 2015 – 23:00 – 00:00. Dari #puisimalam nulisbuku.com bertopik: “MERAH”.)