Pagi ini kau berkaca dan bertanya:
Siapakah yang kulihat di sana?
Siapakah yang kulihat dengan mata terpejam
saat lelap semalam?
Lelaki dan perempuan itu berseteru
sementara kamu hanya ingin mundur teratur malam itu,
namun terlalu lamban untuk mengambil langkah seribu
hingga saat perempuan itu memandangmu
Ada murka, benci, dan dendam di mata basah itu
Air matanya tidak bisa menipu
Tetes-tetesnya mewakili pecahan hati
yang mungkin takkan pernah saling menyatu, membuatnya utuh kembali
Bisa kau lihat cinta butanya yang takkan mati
untuk lelaki yang bahkan tak peduli
Empatinya telah lama mati, mungkin malah nihil sama sekali
Yang penting hanya kepuasan diri sendiri
Cepat pergi!
Instingmu menyuruhmu berlari
Masih sempat kau katakan pada perempuan itu:
“Dia milikmu.”
Namun, perempuan itu tersenyum pedih dan tergugu:
“Oh, tapi dia kembali untukmu…bukan aku…”
DOR!!
Ledakan itu melemparmu ke labirin tanpa ujung
Jiwamu terus menjeritkan doa yang sama,
memohon pada-Nya agar membiarkanmu bangun…
…bangun…bangun…
BANGUN!!
Agar kau dapat menuliskan puisi ini
semata pengingat bagi diri sendiri…
R.
(Jakarta, 26 Juni 2016 – 9:00)