Sepi menyapa hari ini
bagai teman lama yang kembali
Sebuah reuni yang sulit dihindari
meski kau hanya ingin menjauh pergi
“Apa kabarmu, wahai yang sedang sendiri?”
Ingin kau jawab sesuka hati:
“Baik, meski kau harus ada lagi.”
Namun, kadang kau terlalu lelah untuk peduli
“Ah, aku memang kemari,
meski tak selalu ingin buatmu sakit hati,”
ucap sepi tanpa henti.
“Ada saat kau hanya harus mengingat Sang Ilahi.”
“Oh, aku tak pernah lupa, wahai sepi.
Tanpa-Nya, aku tak mungkin di sini,”
ucapmu pada bayangan diri.
“Aku hanya bosan setengah mati.”
“Bosan?” tanya sepi.
“Ya, bosan dengan perasaan ini,”
jawabmu, yang hanya ingin mengusirnya pergi.
“Bukannya aku tak senang dengan reuni,
karena kadang hadirmu berupa kebebasan diri.”
Lagi-lagi…
Kau ingin mendiamkan mulut-mulut nyinyir yang usil setengah mati
rajin berkomentar tanpa henti
seakan hanya kamu yang punya kekurangan diri
Karena itu kau kian dingin, bak ratu es abadi
Jiwamu perlahan membeku oleh rasa tak peduli
Tanpa sosoknya, kamu takkan mati
Sebelum dia ada, kamu masih tegak berdiri
“Mau sampai kapan reuni ini?”
tanyamu pada sepi.
Tentu saja, jawabannya pasti:
“Tergantung keputusan Sang Ilahi…”
R.
(Jakarta, 2 November 2015 – 10:50)