aku terbaring di atas kursi malas yang aku bawa dari desa
kursi dari bambu wulung ini sudah lebih 100 tahun umurnya
jauh lebih tua dari usiaku
dan memang peninggalan dari ayahku
katanya dulu semasa masih muda, ayahku biasa berbaring disini
untuk melepas penat tubuhnya setelah membajak sawah di sore hari
bercengkerama dengan ibuku ketika malam sudah mulai menyapa
berdua bercerita tentang hidup sambil menatap bintang diangkasa
malam ini kursi malas kurebahi setelah lelah seharian bekerja di balai kota
kunikmati sesisir pisang goreng dan secangkir kopi panas bikinan istriku
sesaat aku selonjorkan kedua kakiku hingga lurus dan kusandarkan kepala
kulepas semua pikiran dan anganku agar tak membebani hari hariku
kadang aku tak percaya melihat diriku kini sudah jadi seorang gubernur
rasanya belum lama aku masih bekerja dirumah membantu ibu menjahit baju
tapi mungkin Tuhan berkehendak lain yang tak pernah kusangka dan kuukur
bagaimana aku sekarang bisa jadi kepala daerah tingkat propinsi nomor satu
aku juga heran mengapa rakyatku berani memilih aku menjadi pemimpin di kotanya
padahal mereka tahu aku ini bukanlah orang pintar dan sekedar punya ijasah S satu
memang aku senang membela rakyat kecil yang selalu kalah dan sering jadi mangsa
mungkin itu membuat mereka percaya dan yakin ku bisa membuat kota mereka maju
sekarang aku sudah jadi gubernur tapi kadang aku juga berangan angan bisa lebih
bukankah orang tak boleh cepat puas, jadi harusnya karirku juga bisa meningkat
aku membayangkan bagaimana bila aku jadi menteri, barangkali rasanya lebih gurih
atau langsung saja jadi presiden, bukankah tahun depan sudah mulai mencari kandidat
tapi aku tak mau mengecewakan rakyatku sebab aku kan sudah berjanji untuk setia
menjadi gubernur sampai selesai masa bhaktiku yang masih empat tahun lagi
apa kata rakyatku nanti bila aku pergi meninggalkan mereka demi mengejar karir semata
lagi pula apakah wakilku sudah bisa menggantikanku saat aku terpilih jadi presiden nanti
sudahlah aku tak mau memikirkan itu, sekarang saja aku pusing dengan masalah kota
banyak sekali problem mulai banjir, macet, rumah kumuh sampai ke pedagang kaki lima
kalo dipikir pikir aku tak sanggup juga menanganinya
tapi ya memang harus bertahap dengan hasil yang nyata
aku juga gundah tatkala aku disuruh datang membantu kampanye kepala daerah
sungguh malas keluar kota sebab tugasku saja masih banyak yang belum tuntas
belum lagi mulai ada slentingan yang negatip tentang aku yang sering keluar daerah
aku dikrtik dianggap tidak fokus kerja dan mereka jadi ragu apakah aku masih pantas
aku jadi bingung sendiri mau bagaimana lagi
sebab aku juga tak berani melawan kebijakan partai
kalau ibu sudah suruh, yaa sudah aku berangkat saja
daripada nanti beliau marah, kan aku sendiri yang susah
denger denger partaiku lagi bingung carii kader yang bisa digadang jadi calon presiden
padahal masih banyak teman teman yang loyal dan setia yang layak dicalonkan
tentu masih ada lah yang bisa diajukan, orangnya jujur, adil dan musti harus kompeten
tapi diam diam ada yang minta aku yang maju, katanya pasti pemilu akan kita menangkan
waduh bagaimana yah.. bila benar teman teman mendukungku jadi capres nanti
aku pasti akan bakalan bungung memilih mana yang musti aku jalani
disatu sisi aku harus setia memegang janji sampai selesai masa bhakti
disisi lain aku juga sangat bangga, kalau bisa jadi presiden terpilih nanti
tiba tiba terdengar suara memanggilku..
“Pak.. pak..wis esuk iki, ndang wungu terus siram, iki wayahe upacara, ndak telat lho..”
(sudah pagi ini, segera bangun lalu mandi, ini waktunya upacara, nanti terlambat..)
aku terbangun dari tidurku mendengar suara istriku tercinta
yang selalu setia menemani di sepanjang hidupku..