Flim  

Deadpool & Wolverine: Ketika Trauma dan Komedi Bertabrakan dalam Multisemesta Marvel

Melansir situs KritikFilm yang membahas tentang dunia film, “Deadpool & Wolverine” bukan hanya sekadar ajang reuni dua ikon Marvel dengan pendekatan antiheroik. Film ini, yang digadang-gadang sebagai jembatan gila antara semesta X-Men lama dan MCU baru, membawa penonton ke pusaran emosi yang jauh lebih dalam dari sekadar kekerasan dan lelucon jorok.

Untuk pertama kalinya, kita disuguhi sebuah buddy movie yang menyelami trauma psikologis karakter dalam balutan kekonyolan, menjadikannya salah satu eksperimen naratif paling liar Marvel Studios. Berikut ini Review Film Deadpool & Wolverine :

1. Terapi dalam Kekacauan: Trauma sebagai Titik Temu

Salah satu hal yang paling menarik namun jarang diulas adalah bagaimana Deadpool dan Wolverine menyembunyikan trauma mereka lewat kekerasan dan humor. Di balik konyolnya aksi Deadpool dan dinginnya Wolverine, ada luka yang membatu.

  • Deadpool (Wade Wilson) selalu menertawakan tragedi hidupnya, dari kanker hingga kehilangan kekasih, sebagai bentuk mekanisme bertahan.

  • Wolverine (Logan), sebaliknya, menarik diri dari dunia, terus-menerus dihantui masa lalu berdarahnya, sebagai bentuk pelarian.

Alih-alih menyelesaikan masalah mereka secara konvensional, film ini menjadikan konflik antar keduanya sebagai bentuk terapi tidak langsung. Dialog tajam, saling ejek, hingga pukul-pukulan mereka bukan hanya untuk hiburan, tapi mencerminkan coping mechanism dua pria yang tak pernah benar-benar sembuh.

2. Satir Terhadap Multiverse dan Kekacauan Timeline

Kalau film Marvel lain terlalu serius dengan multiverse, Deadpool & Wolverine justru menertawakannya. Mereka sadar bahwa logika multiverse sering membingungkan, bahkan untuk penggemar garis keras.

Deadpool menyindir:

“Lagi-lagi multiverse? Gue pikir ini cuma alasan kalian buat ngehidupin karakter yang udah mati.”

Film ini memberikan meta-komentar tentang betapa semrawutnya semesta superhero saat ini. Bahkan, ada momen di mana mereka secara eksplisit menyindir praktik retcon (penulisan ulang sejarah karakter), seolah berkata:

“Nggak usah terlalu serius, ini semua cuma cerita. Tapi ya, tetap harus bayar tiket bioskop.”

3. Konsep “Healing Factor” dalam Arti Psikologis

Unik dan belum banyak disorot adalah bagaimana film ini mengembangkan healing factor bukan hanya sebagai kekuatan fisik Wolverine, tapi juga metafora penyembuhan psikologis.

Deadpool selalu “mati lalu hidup lagi” secara harfiah, tapi jiwanya tetap hancur. Sementara Wolverine bisa menyembuhkan luka fisik dalam detik, tapi butuh bertahun-tahun untuk menghadapi luka batin.

Film ini menyajikan adegan-adegan reflektif—yang biasanya absen di film superhero—di mana keduanya berbicara soal kehilangan, kesepian, dan ketidakmampuan untuk mati meski mereka ingin. Ini menjadikan film bukan hanya tontonan aksi, tapi juga renungan yang dibungkus humor gelap.

4. Desain Produksi sebagai Simbol Ketidakteraturan Mental

Satu lagi pendekatan unik yang belum banyak dibahas: desain set dan transisi antar realitas dalam film ini mencerminkan kekacauan mental dua tokoh utama.

Dari ruang interogasi yang berubah-ubah bentuk, kostum yang tak konsisten, hingga urutan waktu yang terasa acak—semuanya seolah mencerminkan isi kepala Deadpool dan Wolverine yang tidak stabil. Adegan bisa tiba-tiba berubah genre: dari drama ke musikal, lalu ke film horor, sebelum kembali ke komedi absurd.

Sinematografi film ini juga memanfaatkan warna-warna kontras (merah Deadpool vs kuning-biru Wolverine) bukan hanya untuk gaya, tapi untuk mengekspresikan konflik batin mereka yang tak pernah sejalan tapi selalu terikat.

5. Persahabatan yang Lahiran dari Kekacauan

Alih-alih membangun bromance klise, hubungan Deadpool dan Wolverine dibentuk lewat konflik, pengkhianatan, bahkan adu tinju brutal. Tapi justru di situlah film ini unik. Mereka bukan sahabat karena saling melengkapi, tapi karena saling menghancurkan satu sama lain lalu tumbuh kembali.

Momen keintiman dalam film bukan saat mereka menyelamatkan dunia bersama, tapi saat mereka duduk di tengah reruntuhan realitas, saling menyalahkan, lalu tertawa karena sadar: mereka sama-sama rusak, dan itu baik-baik saja.

6. Final Act: Penebusan Tanpa Harapan Bahagia

Tanpa spoiler besar, ending dari “Deadpool and Wolverine” bukan sekadar klimaks aksi, tapi pengakuan akan batas manusia, bahkan bagi mereka yang tidak bisa mati. Di dunia yang terus berubah dan mempermainkan waktu, satu-satunya hal yang bisa mereka pegang adalah keputusan untuk memilih: menertawakan hidup, atau memperjuangkan sesuatu meskipun tahu itu mungkin gagal.

Film Superhero yang Tidak Menyelamatkan Dunia, Tapi Menyelamatkan Diri Sendiri

“Deadpool & Wolverine” bukan film yang hadir untuk menyatukan Marvel Cinematic Universe. Film ini tidak terlalu peduli dengan kelanjutan cerita para Avenger. Tapi justru karena itu, ia jujur. Ia menyajikan dua jiwa yang retak dalam bungkus blockbuster, memperlihatkan bahwa kadang, menyelamatkan dunia bukan hal paling penting—menyelamatkan diri sendiri dari kehancuran jauh lebih sulit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses