Duka Bukan untuk Negeriku

Duka Bukan untuk Negeriku
Puisi : Edy Priyatna

Rasa sedihku bukan untuk negeriku
tetapi buat para tukang pembuang sampah
yang bekerja setiap hari tanpa alas kaki
tak mengeluh telapaknya terbakar aspal panas
dan ikhlas kulitnya kerap tersengat matahari

Tangisku untuk kedua telapak kakinya
karena disini banyak pejabat negara
selalu beralas sepatu yang sangat mahal
sedihku juga untuk pakaian usangnya
karena dalam lemari ukiran kayu
gundukan baju licin jarang dipakai pemiliknya

Duka bukan untuk negeriku
tapi untuk kerut muka dan bau badannya
karena di dalam istana negeriku
aroma wangi saling beradu
masing-masing berbeda rasa
berbagai pewangi kerap dipromosi
bau keringat jadi wangi bunga kasturi

Rasa sedihku bukan untuk negeriku
pejabat berdasi telah tak pernah peduli
padahal lingkungan selalu bersih
sejak usia muda hingga beranjak menua
tukang sampah tetap tidak berubah
namun negeriku semakin tergadai
menjadi rebutan dalam bursa kuasa
pemimpin lalu jadi boneka-boneka
pajangan etalase kapitalis
setelah musibah datang melanda
malah berpikir menjanjikan lahan investasi

Duka bukan untuk negeriku
walau sekarang ini masih terus diuji
air mataku telah banyak terkuras
memandikan orang-orang fakir
yang menggadai nyawanya di tempat sampah
air mataku sudah mulai mengering
untuk saudaraku di negeri timur
bagi busung lapar di tanah sendiri
yang menderita karena hartanya dirampas

Kini air mataku masih banyak tersisa
namun tetap bukan untuk negeriku
tetapi akan aku simpan di wadah
untuk memberi minum anak-anak
tukang sampah di perempatan jalan
yang mencari makan pada tutup botol berkayu
serta botol plastik bekas minuman
sebagiannya, akan kugunakan membersihkan
badan saudaraku yang terguyur lumpur ajaib
yang senantiasa menyembur akibat ulah pejabat rakus

Duka tak ada lagi yang tersisa
semua untuk meratapi isi negeriku
karena sudah terlalu lama menanti
janji-janji yang tak kunjung datang
di ujung waktu ini
ingin rasanya menciumi telapak para pemimpin
tetapi rasa itu tiba-tiba sirna
karena telapaknya terlalu halus dan bersih
sementara para tukang pembuang sampah
telapaknya mengelupas kasar dan kotor
setiap hari selalu berjalan tak henti
nuraniku berkata ;
“Cium dan menangislah untuknya……..”

(Pondok Petir, 02 Pebruari 2013)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 Komentar