Wajah Muram Jakarta

mendung jakarta

 

selamat pagi Jakarta
langit kelabu memayungi pelataranmu
sementara rintik hujan kini perlahan luruh
basahi wajah muram anak-anak jalanan
bibirnya membiru menahan luka hati
menatap kumbang dan belalang beradu taji

mengapa kau diam saat melihat mereka bertempur
apakah karena suara lantang di gedung hijau jamur
dengan semangat menyala-nyata berbekal keangkuhan
sedang di bawah tugu monas seorang anak dusun melawan

bagai pendekar kungfu dia mainkan jurus sakti
tak rela bila kepentingan warganya diciderai
berjuang sendiri sampai titik darah penghabisan
baginya mati adalah sebuah keberuntungan

Jakarta, sampai kapan mendung ini segera pergi
rakyatmu terlalu sering mendengar cerita lama
yang terus berulang maski musim silih berganti
rumput tak lagi percaya kepada puncak kelapa

penjahat berdasi bersembunyi di sela kursi paripurna
diantara dengkur para pejabat yang tak punya hati
terlelap dalam belaian udara sejuk mesin pendingin
yang dibeli dengan uang hasil perasan keringat rakyatnya

tumpukan pundi bagai tercurah ke dalam keranjang sampah
sekadar menghiasi buku catatan anggaran yang dimanipulasi
mengguyur muka para mafia yang termakan sumpah serapah
bau bangkai busuk tercium saat terbuka mulut para politisi

mudahnya mengumbar janji yang tak pernah ditepati
tampil didepan berlagak bersih layaknya seorang santri
matanya bisa melihat terang namun sayang hatinya buta
menghisap darah rakyat baginya adalah suatu hal biasa

Jakarta, lihatlah sejenak dirimu dari pantulan kaca
tidakkah kau lihat wajahmu yang masih penuh noda
tak usah lagi mencari-cari siapa yang berbuat salah
sadari bahwa dirimulah yang harus segera berbenah

rakyatmu ingin melihat pembanguan kota yang nyata
bukan malah menonton pertunjukan tinju antar lembaga
Jakarta tercipta bukanlah sebagai ajang pertarungan elit
yang membuat kehidupan warga makin bertambah sulit

sudahlah hentikan segala rasa saling tak percaya
lepaskan dendam yang menyesak di rongga dada
tak perlu memperkeruh masalah hingga jadi polemik
yakinlah bahwa semuanya ingin berbuat yang terbaik

apatah gunanya saling menunduh satu sama lain
bila akhirnya malah akan menebar benih kebencian
pucuk cemara sudah semestinya bergerak searah angin
demi wujudkan janji untuk seia sekata seiring sejalan

@donibastian – lumbungpuisi.com
jakarta, 18032015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.